Pada praktiknya setiap-tiap kru musik bertugas mengiringi sang vokalis untuk melantunkan liriknya yang dikemas dengan nada-nada indah sehingga menjadi satu kesatuan irama dan aksi yang menyenangkan bukan, hingga membawa para hadirin ikut serta kepuncak acara dengan bernyanyi bersama.
Karena musik tanpa panggung adalah latihan, musik yang tak menghibur tidak mungkin dinikmati, panggung tanpa musik yang menghibur tidak layak ditonton.
Demikianlah pentas musik, yang hanya akan dikatakan indah dan layak dinikmati bersama jika para hadirin telah ikut serta bernyanyi dengan riang gembira. Tidak perduli dari atas, dari depan, atau bahkan dari belakang panggung, tetap dinikmati.
Di situlah norma tertinggi dari suatu pentas, yaitu tontonan yang dinikmati.
Demikian pula budaya politik dan budaya kuasa di Negeri Ratu ini yang secara analogis menjadi suatu pentas aksi di atas panggung yang dibutuhkan untuk ditonton dan dinikmati oleh masyarakat.
Hanya panggung, pentas, masyarakat, dan tontonan saja yang notabene, bahkan masyarakat membayar para senimannya untuk itu.
Sebab tidak etis menonton tanpa memberi penghargaan, tapi ya jangan pula masyarakat disuguhkan aksi-aksi yang tidak layak dijadikan tontonan. Sebab bukanlah pentas yang layak dinikmati jika yang diberi panggung tidak menyuguhkan kualitas aksi, dan untuk apa pula diberi panggung jika para senimannya sendiri tidak punya nilai-nilai, sia-sialah masyarakat memberi panggung untuk pentas yang tidak layak ditonton.
Karena faktanya sekarang, masyarakat ini tidak disuguhkon tontonan yang bernilai dan menarik oleh para seniman politiknya.
Baik ditinjau dari kaca mata formal (budaya kuasa), dan informal (budaya politik).
Masalahnya dari setiap-tiap pelakunya cenderung lirik politisnya itu-itu saja, antara “Tunggu Giliran Saya”, “Sekarang Hanya Saya”, dan/atau “Jangan Sampai Dia”.
Pada gilirannya diberi panggung yang disuguhkan tidak berkelas, hanya ganti kru dan vokalis saja, bahkan cenderung berisik dan tidak jelas.
Masyarakat tidak butuh tontonan aksi norak, atau lukisan peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup dari para seniman, justru yang manggung yang dapat bayaran, malahan soal kurang sudah tinggal ambil bukan.
Masyarakat butuh lirik bernuansa damai dan bisa ditonton, ada makna pada praktiknya, pantas untuk dinikmati.
Yang terjadi jangankan apa adanya, malahan tidak ada nilai apa-apanya (silent), selainnya diam-diam tikam, bukan kelompok jauhkan, tidak pro singkirkan, sedikit-sedikit perang, sebentar-sebentar konflik.
Genre musiknya kalau tidak panas, beringas, kalau bukan beringas genrenya lepas (tidak ada lirik dan makna), pokoknya yang penting mentas, dan tetap saling merasa tidak ada yang lebih pantas.
Dan tolonglah, masyarakat jangan pula dikira senang diberi karcis (birokrasi) gratis, karena itu standar kewajiban yang memang sudah ada penghargaan meteril untuk itu, jadi jangan menyesatkanlah dengan menyebut itu prestasi.
Karena Politisi sejati tidak main karcis (birokrasi) gratis.
Sebab memainkan karcis (birokrasi), adalah mainan para Calo. Alias Politisi Calo !!!