Kematian Pebulutangkis Cina Zhang Zhi jei Menarik Perhatian dan Prihatin PERDAMSI

 

Malang-Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia (PERDAMSI), yang di berkantor  Apartemen Green Bay Pluit Tower E unit 8 BK, Daerah Khusus Ibukota Jakarta prihatin  atas kejadian tersebut ,  Pemain tunggal putra Zhang Zhi Jie meninggal usai sebelumnya terekam jatuh pingsan di tengah lapangan. Zhang meninggal saat menjalani partai ketiga babak penyisihan grup melawan Jepang Minggu (30/6) malam.dalam ajang Kejuaraan Bulutangkis Junior Asia 2024 yang dihelat di GOR Among Rogo, Jogja.

hal tersebut di sampaikan oleh , oleh dr Bobi Prabowo, Sp.Em, KEC, M Biomed selaku ketua  PERDAMSI  jumat  ( 5/7)  di hubungi via telp..

Bukan bermaksud mengungkit atau mencari kesalahan, penting untuk memberi penanganan awal atlet yang beresiko henti jantung. Sekian waktu tertunda atau terlambat penanganan, bisa berakibat kematian.

Dimana  sudah diberitakan,  tim medis menyatakan saat kejadian Zhang mengalami penurunan kesadaran dengan pernapasan tidak adekuat, sehingga dia harus dilarikan ke rumah sakit. Jelasnya

Saat itu, memerlukan waktu 40 detik saat dokter pertama kali masuk lapangan, yang kemudian memutuskan Zhang untuk segera dibawa pakai ambulans ke rumah sakit.

Menurut dr. Bobi, penanganan 40 detik setelah terjatuh, bisa dikatakan cukup terlambat, karena diduga Zhang tidak bisa ditangani dengan maksimal.

“Semestinya , saat Zhang terjatuh juri semestinya segera meminta tim medis memasuki lapangan, memeriksa respon dengan tekukan lembut. Apalagi, ketika itu ia sempat nampak Zhang mengalami kejang. Kondisi (mendiamkan) Zhang saat terjatuh ini, menunjukkan kesiagapan petugas medis kurang,” terang dr Boby

Dalam kasus kegawatdaruratan olahraga, lanjutnya, paling sering terjadi ada kasus gangguan henti jantung biasa disebut dengan Ventrikel Fibrilasi, saat olahraga suplay oksigen yg dibutuhkan tinggi menyebabkan pompa jantung tinggi saat olahraga sehingga terkadang muncul gangguan irama (aritmia malignant) yg biasa disebut Ventrikel Fibrilasi yg ditandai dengan kejang pada korban.

“Pasien juga harus dipastikan nadi dileher berdenyut atau tidak. Jika tidak respons maka diperlukankan AED (Automatic External Defibrilasi) / alat kejut jantung. Jika dalam 4-6 menit berhenti maka pasokan oksigen ke otak bisa terganggu,” ujarnya

Lambatnya penanganan menit – menit  awal pada kasus henti jantung, kata dr. Bobi, akan berdampak menurunkan 10 % angka keberhasilan dalam pertolongan dalam tiap menitnya. Selebihnya jika 4-6 menit penangan yang tertunda, bisa mulai menyebabkan kerusakan otak. Lebih, dari itu, bisa dikatakan terlambat dan beresiko fatal atau kematian.

Saat evakuasi atlet henti jantung, menurutnya juga dibutuhkan kecepatan. Petugas medis yang menandu pasien harus cepat dengan alur yang telah disimulasikan, tidak memutar-mutar ketika menuju mobil ambulans.

Mobil ambulans yang di standby kan harus dengan peralatan resusitasi yang lengkap. Seperti, Monitor, Defibrilator, Oksigen dll. Alat harus selalu menempel  di dada pasien agar bisa dimonitor dengan baik. Sehingga, aktivitas jantungnya bisa termonitor.

“Ambulans kasus kegawatdaruratan olahraga, peralatannya harus lengkap. Ibaratnya, sebagai Mobile IGD. Jadi, dalam perjalanan pasien ke RS sudah tertangani pada menit-menit awal yang krusial. Saat di ruang IGD, sifatnya sudah penanganan lanjutannya,”

Ia menjelaskan lebih jauh, bahwa selain penanganan medis atlet cedera atau gagal jantung, perlu dipastikan beberapa hal terkait kesiapan medis, berikut alat dan standar prosedur atau tata laksananya.

Menurut dr. Bobi, hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan even olahraga untuk mengantipasi cedera atlet adalah kesiapan medical standby, yang sesuai ketentuan dan standar untuk mencegah kecacatan dan kematian atlet.

Tim medis  yang standby dilapangan  dalam melakukan tindakan  harus  berkompeten dan sesuai dengan Standar operasional prosedur dalam melakukan BHD (bantuan hidup dasar) yang berkualitas tinggi. Personel tim juga harus disesuai jumlah rasio yang dihitung sesuai ketentuan, terkait resiko yang harus ditangani.

“Tim ⁠medical stanby harus dilengkapi alat sesuai ketentuan standar, minimal AED dan alat resusitasi lainnya. Sedangkan, kompetensi tim medisnya sendiri, harus memiliki STR ,SIP dan sertifikat BHD yang masih berlaku,”

Selain itu, menurutnya harus ada rencana kontigensi  bila terjadi bencana atau cedera massal. Bahkan, kesiapan media harus dipastikan terlebih dahulu dengan melakukan simulasi, untuk mengecek kesiapan petugas medisnya.

Standar dan pengalaman ini, kata dr. Bobi, pernah dijalaninya saat menjadi bagian tim medis dalam beberapa even olahraga level internasional di Indonesia.

Di antaranya, menjadi tim medis Asian Games dan Para Asian Games 2018, PON XX dan XXI, juga tim medis di arena Sirkuit Mandalika.

“Prinsipnya, setiap even pertandingan olahraga juga harus punya medical center dan dengan kesiapan tim medis sesuai standar. Dari kasus Zhang, penting juga dilakukan audit medis, supaya diketahui standar kesiapan tim medis untuk penyelenggaraan yang safety dan lebih baik kedepannya. Terpenting, agar kejadian serupa tidak terulang,” demikian menurut dokter Bobi yang saat ini juga  menjabat Plt Direktur RSUD Kanjuruhan ini. (Kaperwil jatim)

Pos terkait