Pada satu masa di bawah kekuasaan Kesultanan Nusasntara Raya, eksislah Kesultanan otonom yang dikenal dengan sebutan RUWI ANDALAS.
Cakupan kekuasaan Kesultanan Ruwi Andalas meliputi 11 Wilayah Penjuru, salah satunya dikenal dengan nama KESULTANAN HAMBUR.
Di situlah kisah ini digambarkan, satu dari sekian banyak ceritra di pelosok tersembunyi Nusantara Raya.
Kesultanan Hambur membawahi 9 Negeri yang setiap Negerinya dipimpin seorang Raja.
Kesultanan Hambur dinaungi oleh seorang Pejabat bergelar PANGERAN PASRAH. Ya namanya Pejabat, ya hanya diberi jabatan.
Pangeran Pasrah tidak punya kekuasaan dari segi Pemerintahan, ya tidak lebih dari bertugas MENAUNGI saja.
Ya, namanya juga Pangeran Pasrah. (Pasrah deh…!!!)
Pangeran Pasrah menaungi 9 Negerinya dari Istana yang berpusat di NEGERI RAYU, Negeri yang pada kala itu sedang dipimpin oleh Raja Egoku. Yang isinya orang-orang yang gemar merayu, untuk menipu.
Pangeran Pasrah meski tidak nemiliki kekuasaan pemerintahan tapi dianggap sebagai SIMBOL oleh Rakyat Hambur. Posisinya memang tidak VITAL, tapi SAKRAL.
Bagi Rakyat Hambur gelar PANGERAN berkedudukan lebih tinggi dari Raja-Raja yang memerintah, Raja hanya alat untuk menjalankan pemerintahan sedangkan Pangeran adalah identitas masyarakat Hambur.
Dapat dikatakan bahwa sebenarnya segala tindak-tanduk sosial, budaya dan politik Rakyat Hambur adalah manifestasi dari Pangerannya.
Begitu istimewa PANGERAN di mata Rakyatnya.
Nah, tapi Pangeran Pasrah ini agak lain memang, sangat kontras bahkan dari beberapa pendahulunya.
Bagi Pangeran Pasrah;
Pertama, paradigma masa lalu itu sudah tidak relevan dengan zamannya.
Kedua, Ia merasa Jubah Pangeran yang disematkan itu bukan Jubah yang harus diperhatikan oleh Rakyatnya.
Ketiga, apapun tindak tanduk sosial, budaya dan politiknya Pangeran di Wilayah Kesultanan Hambur bukan lagi sesuatu yang harus dianggap SAKRAL.
Nah jadinya, Rakyat Hambur pro kontra dengan prinsip si Pangeran. Tapi si Pangeran tetap menjadi dirinya sendiri, dia tidak mau ambil pusing dengan pendapat Rakyatnya. Ini sudah berlangsung lama, sejak Pangeran naik tahta.
Selain itu, di era Pangeran Pasrah ini giat-giat adat dan kebudayaan mulai tidak begitu diminati lagi khususnya oleh kalangan muda, penyebabnya antara minim kesadaran dan kesadaran minim sih dari Pangeran, jajaran Adat sampai Raja-Rajanya juga sama aja.
Diceritakan, pada saat Pesta Penunjukan Raja NEGERI RAYU (LUBUK KECIL BANYAK BUAYA) pada tahun 222 kala itu,
Pangeran Pasrah ini menyatakan dirinya netral, tapi bersikap dengan kesana-sini menyambangi Calon-Calon Raja (sikap yang dinilai terbalik oleh Rakyat Negeri Rayu) yang notabenene Negeri yang sepanjang zaman terjadi konflik antar faksi terus-menerus.
Penunjukan Raja tahun 216 juga Pangeran bersikap seperti itu. Rakyatnya bingung sekaligus kesal dengan sikap Pangeran.
Nah, puncak dari kebingungan dan kekesalan Rakyat Hambur terjadi pada Pemilihan Wakil Dewan Penjuru Tahun 224, tidak ada satupun Tokoh dari Kesultanan Hambur yang terpilih jadi Dewan Penjuru.
Waktu itu Rakyat benar-benar ikut simbolnya, Tidak Peduli dan PASRAH…
Setelah itu, Rakyatnya hanya bisa gigit jari setelah ikut gaya Pangeran, karena tidak punya utusan di Majelis Tingkat Ruwi Andalas, Saat itu Rakyat Hambur kehilangan muka. Salah satu dampak dari ketidak pedulian serta konflik-konflik sektoral yang dipertontonkan para Pemuka terhadap Rakyatnya, Rakyat yang semula memandang hormat para Pemimpin dan Pemuka panutannya, saat itu ikut menjadi apatis (Rakyat Hambur Berhamburan).
Parahnya lagi, para Pemimpin dan Pemuka itu menyalahkan Rakyatnya, mengatai, menertawai Rakyatnya karena tidak mau menunjuk Dewan Penjuru dari kalangan Hambur. Rakyatnya juga ketawa melihat mereka karena mereka sendiri tidak tunjukan sikap layaknya SURI TAULADAN bagi Rakyat.
Kini Pangeran Pasrah dan Rakyat Hambur hanya bisa menelan pil pahit.
Pangeran Pasrah yang dianggap Rakyatnya sebagai cermin peradaban sosial, budaya dan politik sudah tidak peduli dengan keadaan itu.
Hambur yang semula Rakyatnya mencintai, menghormati Pangeran, terpojok di situasi krisis kepemimpinan. Pemimpin banyak, tapi KEPEMIMPINAN NOL.
Padahal Rakyat Hambur sendiri sangat kuat dengan dogma sektoral dan doktrin identitasnya, sampai-sampai bagi Rakyat Hambur siapapun yang berbuat malu artinya telah memalukan Hambur keseluruhan, istilahnya “malu-maluin Hambur aja”..
Bukan tidak mungkin sebetulnya untuk mengerucutkan keberagaman faksi di Hambur sepanjang untuk kemajuan kolektif, hanya saja yang terjadi sering dilatar belakangi oleh piil golongan, ego sektoral, masing-masing merasa lebih bisa dari yang lain padahal ya nyatanya belum bisa ngapa-ngapain juga kebanyakan.
Disayangkan memang PANGERAN tidak hadir solutif dengan problem sosial, budaya dan politik Rakyatnya, mau dibuang kemana itu peradaban.
PANGERAN PASRAH melihat potensi Rakyatnya di tengah kondisinya sendiri yang “Cuma Bisa Pasrah”….
Itulah cerita dari Rakyat Hambur dan Pangeran Pasrah (sebagian potret saja).
Yuk Kita Pasrah.. PASRAH DEHH !!!