TUBABA, PANAH REVOLUSI ~ Dalam rangka memperingati HUT RI ke-78th, kali ini penulis berkunjung ke rumah kediaman seorang tokoh masyarakat Panaragan, nama Khoiri Rujungan, yang juga merupakan tokoh pencetus ide pemekaran Kabupaten Mesuji dan Panaragan (Tubaba). Kunjungan ini tentunya bertujuan untuk menggali visi dan misi beliyau terhadap ide pemekaran kabupaten diera otonomi daerah sedang hangat-hangatnya. Dilain sisi, yang menjadi pertanyaan adalah ide Pemekaran itu telah terealisasi, namun justru Beliyau seolah-olah lepas dari hiruk pikuk pembangunan daerah yang Beliyau usulkan tersebut.
Pada kegiatan kunjungan tersebut, ada beberapa hal yang kami diskusikan terkait kemajuan suatu daerah otonom, khususnya diwilayah eks Kabupaten Tulang Bawang. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari gagasan pemekaran Kabupaten, yang pada intinya pemekaran Kabupaten eks Kecamatan Panaragan dimulai dari adanya aspek sejarah, sosial dan budaya. Oleh karenanya, gagasan pemekaran Kabupaten khususnya Panaragan diwacanakan melalui Lembaga Adat Lampung Pepadun, dengan harapan agar wilayah tersebut dapat dilahirkan menjadi Kabupaten yang berlandaskan pada nilai-nilai adat, dalam rangka menangkal pengaruh globalisasi dan westernisasi, sesuai dengan bunyi Pasal 18B UUD 1945 dengan penjelasan Pasal 18, 18A dan 18B alenia II UUD 1945.
Hal tersebut tentunya dimulai dari adanya sejarah Keramat Gemol Panaragan yang telah dilakukan penelitian sejak tahun 1993, 1997 dan seterusnya. Mengapa demikian, karena kita sadari bahwa nenek moyang Minak Indah (Kramat Gemol) telah mempertaruhkan nyawa dalam rangka mempertahankan eksistensi wilayah Panaragan dari intervensi Abung dan Pubian Telu Suku. Ini dapat terlihat dari adanya pengakuan oleh pemerintah kolonial yang menuangkan dalam peta tahun 1915, 1930 dan 1942 lembar 30 judul Gedong Ratu, adanya sebutan Keramat Gemol, sebagai bentuk adanya pengakuan Pemerintah Belanda dan Jepang terhadap perjuangan moyang Minak Raja Malaka dan Prajurit Potenggelang dalam mempertahankan keutuhan wilayah Pertapaan Tulang Bawang (Panaragan), dizaman sebelum Republik.
Selanjutnya, Khoiri Rujungan menceritakan secara singkat, bahwa Tulang Bawang diduga memiliki kekuatan politis sebelum abad IV dengan Pemerintahan yang demokratis bentuk Marga, lalu kemudian Tulang Bawang menjadi dibawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya (683-1377), yang diduga berkembang diwilayah Way Kanan (Gunung Terang, Terang=Bhs. Melayu). Selanjutnya Tulang Bawang Lampung dan Sriwijaya menjadi bawahan Kerajaan Majapahit (Jawa Timur) 1293-1525, diduga berkembang diwilayah Way Kiri, tepatnya diwilayah Gunung Katun, sedangkan Katon adalah Bahasa Jawa yang artinya kelihatan.
Seiring berakhirnya peran politik Kerajaan Majapahit di Nusantara, dengan ditandai pesatnya perkembangan pengaruh Islam masa Kesultanan Banten tahun 1550-1668, dimasa Minak Kemala Bumi, anak Tuan Rio Mangku Bumi Pagar Dewa mengajak Abung Nunyai, Sungkai Bunga Mayang dan Way Kanan menghadap (siba/sebow) ke Sultan Banten, lalu sepulang mereka berempat dari Banten mendapat gelar masing-masing Adipati (Bupati) dengan urutannya sebagai berikut; Minak Kemala Bumi bergelar Adipati Pejurit sering disebut Minak Pati Pejurit sebagai perwakilan dari Tulang Bawang. Selanjutnya Minak Peduka bergelar Adipati Jurumumbang sebagai penguasa Abung Sewo Mego, Pubian Telu Suku. Untuk Sungkai Bunga Mayang bergelar Adipati Wirabhumi sebagai penguasa wilayah Sungkai. Dan selanjutnya Way kanan bergelar Adipati Amangkurat sebagai penguasa Way Kanan.
Hal itu memperjelas bahwa masa pengaruh Kesultanan Banten, Lampung Pepadun di Perintah oleh 4 Adipati (Bupati) yang masing-masing bupati mempunyai panggeh (pesan), sebagai contoh:
Batang arei way Abung,
Disan Sewo Margo.
Jeng mulo mapu darung,
Way Putih mulang di yow.
Suttan batang arei pak,
Pangeran sangon timbai.
Hanjak Skala Beghak,
Ngemuhun buay Nunyai.
Dan sejak tahun 1668 berdasarkan Piagam Bojong, oleh Sultan Haji (Sultan Banten) perdagangan Lampung diserahkan kepada Belanda, sejak 22 November 1808 Lampung Resmi menjadi Jajahan Belanda dan Pemerintah Belanda di Lampung melegalkan sistem Pemerintahan Marga. Untuk Tulang Bawang dibangun menjadi 3 Marga, yaitu Marga Buay Bulan, Marga Tegamoan, Marga Suay Umpu. Lalu tahun 1914 berdiri Marga Aji, 1952 sistem Pemerintahan Marga di Lampung di hapus menjadi Pemerintahan Negeri, lahir salah satunya Negeri Panaragan.
Kembali pada konteks pemekaran eks Kabupaten Tulang Bawang, saya usulkan nama Kabupaten Panaragan, bahwa Tulang Bawang setelah 17 Agustus 1945 dimekarkan 2 (dua) Kecamatan yaitu Kecamatan Menggala dan Kecamatan Panaragan, kemudian tahun 1997 lahir Kabupaten nama Tulang Bawang dan tahun 1999 lahir Kabupaten Way Kanan. Kedua Kabupaten tersebut menggunakan nama Sungai (Way), tinggal wilayah Way Kiri yang mengagendakan adanya Keramat Gemol (Beruang), untuk menghindarkan sebagai orang berfaham kiri dan gemol, maka Lembaga Adat Tiyuh Panaragan menggagas nama Kabupaten Panagaran, Panaragan memiliki makna tempat bertapa atau tempat berTuhan, dan Kecamatan Panaragan membawahi Tiyuh Karta, Gn.Katun Tanjungan dan Malay, Gedong Ratu, Panaragan, Bd.Dewa, Tanjung Agung, Menggala Mas, Penumangan, Pagar Dewa, Gn.Terang dan Gn.Agung. Dan tahun 1972 Kecamatan Panaragan dihapus menjadi Kecamatan Tulang Bawang Tengah, hadirnya transmigrasi tahun 1973/1974 nama Panaragan di Jayakan adanya nama Panaragan Jaya.
Untuk itu tidak ada salahnya saya usulkan Pemekaran Kabupaten nama Panaragan, melalui Lembaga Adat Lampung. Dengan visi dan misi agar wilayah yang kaya akan nilai sejarah ini dapat menjadi barometer dalam pembangunan. Mengingat, wilayah eks Kecamatan Panaragan untuk saat ini bukanlah wilayah pertambangan. Sehingga harapannya, dengan lahirnya Kabupaten nama Panaragan akan menggali dan mungumpulkan seluruh historis yang ada, serta memanfaatkan pengelolaan kekayaan alam yang terbentang mulai dari Gunung Terang hingga ke Karta (Way Kanan dan Way Kiri) sebagai jalur ekonomi maritim wilayah Kabupaten dengan aspek PADnya berupa budidaya ikan air tawar, ketahanan pangan hingga pariwisata bahari, serta pengelolaan lebak lebung sebagai bagian dari hak ulayat (hak Marga).
Sumber cerita : Khoiri Rujungan